Pj. Gubernur Lampung Tekankan Pentingnya Pengelolaan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan
Bandar Lampung,hariansatelit.com
Pj. Gubernur Lampung Samsudin menjadi Keynote Speaker dalam Focus Group Discussion (FGD) “Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Secara Berkelanjutan Sebagai Bentuk Implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023”, di Hotel Grand Mercure, Kamis (22/08/2024).
Dalam kesempatan tersebut Pj. Gubernur menyebutkan bahwa sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu penggerak perekonomian di Provinsi Lampung karena memiliki potensi sumberdaya yang besar.
“Provinsi Lampung memiliki garis pantai sepanjang 1.319 Km, pulau-pulau kecil sebanyak 172 buah dengan 41% dari total wilayah merupakan perairan laut serta memiliki sungai-sungai besar dengan panjang total 942 Km,” ujar Pj. Gubernur.
“Data produksi perikanan Provinsi Lampung Tahun 2023 mencapai 343 ribu ton, yang terdiri dari perikanan tangkap 189 ribu ton dan perikanan budidaya 154 ribu ton. Volume ekspor hasil perikanan Provinsi Lampung sebesar 14,4 ribu ton dengan nilai ekspor mencapai 2,1 triliun rupiah,” lanjut Pj. Gubernur.
Regulasi pengelolaan sektor kelautan dan perikanan saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja sebagaimana telah diundangkan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Regulasi ini tentunya berimplikasi terhadap proses hulu dan hilir di bidang Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Pengelolaan Ruang Laut hingga 12 Mil hingga pelaksanaan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Semangat Undang-Undang Cipta Kerja pada mulanya sebagai regulasi yang mampu mengakhiri sistem pelayanan publik yang berbelit dan tidak menjamin kepastian hukum, namun pada tahap implementasi, masih terdapat miskomunikasi dalam memaknai kehadiran UUCK pada sektor kelautan dan perikanan diantaranya :
1. Pemberlakuan Registrasi usaha dalam bentuk Nomor Induk Berusaha (NIB) dianggap satu-satunya dokumen usaha oleh para pelaku usaha.
2. Proses perizinan berusaha dianggap semakin sulit dan panjang, hal ini dikarenakan setelah mendapatkan registrasi usaha dalam bentuk NIB para pelaku usaha sektor perikanan masih harus melengkapi perizinan sebagaimana yang telah diberlakukan pada regulasi sebelum UU CK, artinya proses perizinan pasca UU CK semakin bertambah.
3. Kebijakan pemanfaatan ruang laut, bahwa dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan Kewenangan laut sampai 12 Mil adalah kewenangan Pemerintah Provinsi, namun berdasarkan UU CK perizinan dasar Pemanfaatan Ruang Laut ini menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang memiliki sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam aturan turunan UU CK dijelaskan bahwa akan ada pendelegasian terkait perizinan pemanfaatan ruang laut kepada Pemerintah daerah serta adanya Transfer Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Pemerintah Daerah, realisasinya hingga saat ini belum ada pembahasan terkait hal tersebut. Namun jika ada permasalahan perihal pemanfaatan ruang laut pertama kali menjadi sorotan publik adalah Pemerintah Daerah.
4. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur dan kebijakan migrasi kapal perikanan izin daerah yang melakukan penangkapan ikan diatas 12 mil juga menyisakan perdebatan perihal Dana Bagi Hasil (DBH) yang hingga saat ini tak kunjung ada titik terang terkait pembagian hasil PNBP;
5. Kendala dalam penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi nelayan kecil;
6. Dalam hal pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan serta penegakan hukum yang sebagian besar merubah pasal pidana menjadi pasal sanksi administratif dimana UU CK menganut prinsip restorative justice merupakan kebijakan yang tepat. Upaya perbaikan sumberdaya lebih baik dibandingkan ancaman pidana.(Herwan)