BPS Catat Kemiskinan Kota Metro Terendah Se Indonesia
Metro, hariansatelit.com
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Metro mencatat angka kemiskinan di Bumi Sai Wawai merupakan yang terendah dibandingkan Provinsi Lampung maupun nasional. Hingga 2022 tercatat angka kemiskinan di Metro hanya 7,87 persen.
Dari data yang dihimpun, angka kemiskinan di Metro lebih rendah 3,7 persen dibandingkan Provinsi Lampung yang mencapai 11,57 persen.
Sementara ditingkat nasional, angka kemiskinan di Metro hanya selisih 1,67 persen dari total presentase penduduk miskin sebesar 9,54 persen.
Kepala BPS Kota Metro Wintarti Dyah Indriani menyampaikan bahwa presentase penduduk miskin di Kota setempat mengalami fluktuasi sejak tahun 2005. Pada tahun 2022, presentase penduduk miskin Kota Metro justru terendah sejak tahun 2005.
“Presentase penduduk miskin Kota Metro ini dicatatkan dalam data BPS, bahwa tahun 2005 sebanyak 9,86 persen, kemudian tahun 2006 11,92 persen, tahun 2007 sebanyak 11,53 persen, tahun 2008 11,53 persen, tahun 2009 11,53 persen, tahun 2010 sebanyak 13,77 persen dan tahun 2011 itu 12,90 persen,” kata dia, Rabu (16/8/2023).
“Kemudian tahun 2012 itu 12,09 persen, tahun 2013 11,08 persen, tahun 2014 10,82 persen, tahun 2015 10,29 persen, tahun 2016 10,15 persen, tahun 2017 9,89 persen, tahun 2018 9,14 persen, tahun 2019 8,68 persen dan tahun 2020 itu 8,47 persen.
Lalu di tahun 2021 8,93 persen, tahun 2022 kemarin hanya tercatat 7,87 persen. Artinya terendah sejak 18 tahun yang lalu tepatnya tahun 2005,” sambungnya.
Ia menjelaskan, presentase penduduk miskin Kota Metro tahun 2022 terendah ketiga se Provinsi Lampung. Dimana terendah pertama ditempati Kabupaten Mesuji dengan nilai 6,84 persen, terendah kedua disusul Tulang Bawang Barat dengan 7,44 persen.
“Demikian pula penduduk miskin ekstrem Kota Metro tahun 2022 menduduki peringkat terendah kedua sebesar 0,83% setelah Kabupaten Mesuji sebesar 0,38% dari jumlah penduduk,” ujarnya.
Sementara itu untuk menentukan presentase penduduk miskin sendiri dilihat dari ambang batas dari garis kemiskinan, yang ditentukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan non makanan setiap individu.
“Seseorang dianggap miskin jika kurang bisa memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan di suatu tempat yang didiaminya. Ambang batas garis kemiskinan sendiri setiap daerah berbeda-beda karena melihat beberapa faktor seperti harga kebutuhan dasar, rata-rata konsumsi suatu daerah dan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan,” bebernya.
“Kalau BPS melihat dari dua macam pengeluaran, kita melihat dari pengeluaran makanan dan non makanan, untuk pengeluaran makanan itu kita melihat dari kalori minimal 2100 kalori, jadi kita ini menghitungnya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi manusia,” imbuhnya.
Wintarti menerangkan bahwa penilaian lainnya dari non makanan sandang papannya yang minimal yang dapat dipenuhi seorang manusia untuk hidup layak.
“Kemudian kita hitung, kemudian digabung makanan dan non makanan, itulah keluar garis kemiskinan, dan apabila hasilnya di bawah garis kemiskinan, maka ia dikatakan miskin,” terangnya.
Ia menjelaskan, garis kemiskinan setiap kabupaten atau kota tentunya berbeda karena melihat harga dan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidup ketika mendiami suatu tempat.
“Untuk menentukan garis kemiskinan juga menggunakan survei sosial nasional yang dilakukan setahun dua kali. Yaitu setiap bulan Maret dan September, untuk survei Maret akan keluar hasilnya pada bulan September, sedangkan survei bulan September hanya untuk memenuhi angka provinsi,” tandasnya. (Hendi)